Manusia
seringkali berlaku egois. Ketika menginginkan rindu sesuatu, ia berdoa
habis-habisan dan berupaya sungguh-sungguh demi tercapainya segala yang
dirindukan. Tatkala berhasil, serta-merta ia pun melupakan Allah. Bahkan
ia menganggap bahwa keberhasilan itu adalah hasil jerih payah dirinya
sendiri.
Sebaliknya,
bila kegagalan menimpa, ia sering kecewa karenanya. Terkadang ia
berburuk sangka kepada Allah dan menimpakan kekecewaannya itu kepada
siapa saja yang dianggap biang penyebab kegagalan tersebut. Padahal,
rasa kecewa, sedih, dan kesal itu lahir karena manusia terlalu berharap
bahwa kehendak Allah harus selalu cocok dengan keinginannya.
Jelas
dari kedua sikap tersebut ada sesuatu yang terlewatkan. Yaitu sikap
sabar, tawakal, dan syukur nikmat. Karenanya, beruntunglah orang yang
memiliki sikap sabar ketika musibah datang menimpa dan memiliki syukur
ketika keberuntungan datang menerpa.
Sabar,
menurut Dzunnun Al-Mishry, adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang
bertentangan dengan agama dan bersikap tenang manakala terkena musibah,
serta berlapang dada dalam kefakiran di tengah-tengah medan kehidupan.
Atau, seperti kata Al-Junaid, "Engkau menelan suatu kepahitan tanpa
mengerutkan muka".
Adapun
syukur, adalah tindakan memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang
telah dilakukannya. Seseorang dikatakan bersyukur kepada Allah, apabila
ia mengakui nikmat itu di dalam batinnya, lalu membicarakannya dengan
lisan, serta menjadikan karunia nikmat itu sebagai ladang ketaatan
kepada-Nya. Pada hakikatnya syukur itu merupakan perwujudan sikap sabar
ketika manusia mendapat nikmat.
Mengapa
kita harus bersabar ketika mendapatkan nikmat? Karena, karunia nikmat
itu justru akan menggelincirkan manusia ke dalam kekhilafan dan
memperturutkan hawa nafsu. Betapa banyak orang yang mampu bersabar
ketika diberikan ujian, tapi tak mampu bersabar ketika diberi
kenikmatan.
Lalu seberapa mampukah kita merasakan nikmatnya sabar?
Syahdan, di masa Rasulullah SAW, sebuah ujian menimpa Ummu Sulaim. Suatu hari anaknya meninggal dunia, padahal suaminya sedang bepergian. Ummu Sulaim berusaha agar kematian anaknya itu tidak diketahui dengan tiba-tiba oleh sang suami sedatangnya dari perjalanan nanti. Ia pun mempersiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan suaminya.
Syahdan, di masa Rasulullah SAW, sebuah ujian menimpa Ummu Sulaim. Suatu hari anaknya meninggal dunia, padahal suaminya sedang bepergian. Ummu Sulaim berusaha agar kematian anaknya itu tidak diketahui dengan tiba-tiba oleh sang suami sedatangnya dari perjalanan nanti. Ia pun mempersiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan suaminya.
Ketika
sang suami datang, ia pun segera menyantap hidangan yang telah
dipersiapkan dengan lahapnya. "Bagaimana keadaan anak kita sekarang?"
tanya suaminya. "Alhamdulillah, sejak sakitnya itu tidak pernah setenang
malam ini," jawab Ummu Sulaim.
Sementara
itu, Ummu Sulaim menghias diri dengan memakai pakaian terindah yang
dimilikinya, agar sang suami timbul hasratnya. Tak lama setelah sang
suami menggauli dan memuaskan hajatnya, Ummu Sulaim mulai bertanya,
"Apakah Kanda tidak merasa heran dengan tetangga-tetangga kita itu?"
"Mengapa
mereka?" tanya suaminya."Mereka itu diberi pinjaman, tetapi setelah
diminta kembali, tiba-tiba mereka menyatakan kedukacitaan yang luar
biasa," jawab Ummu Suliam."Buruk sekali kelakukan mereka itu," ujar
suaminya.Ketika itulah ia memberitahukan apa sebenarnya yang terjadi
terhadap anaknya. "Kanda," ujarnya. "Bukankah anak kita itu hanya
pinjaman dari Allah? dan kini Allah telah memanggilnya kembali".
Setelah
mendengar perkataan istrinya tersebut, sang suami pun sadar akan apa
yang terjadi. "Alhamdulillah, inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun,"
ujarnya penuh ketabahan. Keesokan harinya, pagi-pagi benar suaminya
pergi ke tempat Rasulullah SAW dan memberitahukan kejadian tersebut.
Rasul pun berdoa untuk keluarga itu, "Ya Allah, berilah keberkahan untuk
kedua suami istri itu pada malam harinya tadi".
Dalam
kisah lain diceritakan bagaimana sedihnya Nabi Ya’kub ketika mendengar
anaknya, Yusuf meninggal, hingga dikisahkan bagaimana matanya menjadi
putih (QS. Yusuf: 84). Dan kesedihan itu semakin bertambah ketika
anaknya yang lain Bunyamin ditahan pemerintah Mesir. Namun, apa yang
dikatakan Nabi Ya’kub ketika itu? "Fa shabrun jamiil" (QS. Yusuf: 83).
Sabar itu indah!
Jadi,
kemampuan merasakan nikmatnya sabar terletak pada seberapa besar mutu
pengakuan akan adanya takdir dan kemahakuasaan Allah SWT. Seseorang bisa
sabar - seperti yang dilakukan Ummu Sulaim dan suaminya - bila ia mampu
meyakini bahwa semua yang terjadi karena izin Allah dan meyakini bahwa
Allah tidak akan mendzalimi hamba-Nya.
Sa’ad
bin Jubair memberikan contoh tentang seorang budak belian yang dipukul
dengan cambuk. Namun sikap budak tersebut seolah-olah mencerminkan makna
firman-Nya, Inna lillahi Sesungguhnya kami hanya milik Allah semata.
Jadi, ia mengakui bahwa dirinya adalah kepunyaan Allah yang bebas
dipergunakan dan diapakan saja oleh Allah.
Sedangkan
harapannya akan pahala dikarenakan musibah tersebut seakan merupakan
makna dari firman-Nya, Wa inna ilaihi raaji’uun Dan kepada-Nya kita
kembali. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Abu Bakar As-Siddiq
jatuh sakit, dan para sahabat yang menjenguknya bertanya, "Saudaraku,
tidakkah sebaiknya kami panggilkan saja tabib?". Abu Bakar menjawab,
"Sudah, tabib sudah memeriksaku". "Apa yang dikatakannya?" tanya mereka.
Abu Bakar menjawab, "Dia katakan, "Aku Maha Berbuat terhadap apa yang
Aku kehendaki !".
Dengan
demikian, syarat mutlak orang bisa bersabar adalah ketika ditimpa
sesuatu, pikirannya langsung tertuju hanya kepada Allah SWT. Inilah
kunci terpenting yang harus dimiliki siapa saja yang ingin menjadi ahli
sabar.
Karena
itu, keindahan dan keluhuran pribadi seseorang dapat dilihat dari
sejauh mana ia pandai bersabar. Semakin seseorang mampu bersabar,
niscaya akan semakin indah pula akhlaknya. Jaminan Allah pun demikian
luar biasa bagi ahli sabar. "Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas!" (QS.
Az-Zumar:10).
"Dan
berikanlah kabar gembira pada orang-orang yang sabar, yang apabila
ditimpa musibah, mereka berkata, "Inna lillaahi wa inna ilahi
raaji’uun". Mereka itulah orang-orang yang mendapat rahmat dari
Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS.
Al-Baqarah:155-157).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar